Baby Hello Kitty

Jumat, 04 Desember 2020

Lydia Yeckti Henawati Filsafat | Discovery Learning in Mathematics

Lydia Yeckti Henawati (20709251036)

Pascasarjana Pendidikan Matematika UNY

Filsafat Ilmu- Marsigit


    Balim (2009) menyatakan discovery learning merupakan suatu metode yang mendorong siswa untuk sampai pada suatu kesimpulan berdasarkan kegiatan dan pengamatan siswa sendiri (Arifin et al., 2020). Wilcox (Slavin, 1977) dalam Hosnan (2014: 281) menyatakan bahwa “Dalam pembelajaran dengan penemuan, siswa didorong untuk belajar sebagian besar melalui keterlibatan aktif mereka sendiri dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri” (Septya et al., 2018).  

Discovery Learning adalah suatu proses belajar yang di dalamnya tidak disajikan suatu konsep dalam bentuk final, akan tetapi siswa dituntut untuk mengorganisasi sendiri cara belajarnya dalam menemukan konsep. Sebagaimana pendapat Bruner (Kemendikbud, 2013:242) bahwa: “Discovery Learning can be defined as the learning that takes place when the student is not presented with subject matter in the final form, but rather is required to organize it him self”. Dasar ide teori Bruner adalah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwasanya anak harus berperan aktif dalam belajar di kelas. (Nurgazali, 2019) 

Dalam Rahman (2017), Alfieri, dkk menyatakan bahwa model penemuan terbimbing dianggap sebagai model yang lebih efektif karena model ini dapat membantu siswa untuk memenuhi dua persyaratan penting dalam pembelajaran aktif, yaitu mengaktifkan atau membangun pengetahuan untuk memahami informasi baru dan mengintegrasikan informasi baru yang diperoleh hingga mereka menemukan pengetahuan yang benar. Sejalan dengan itu, Bruner dalam Ruseffendi (2006) menyatakan mengatakan bahwa model discovery learning adalah model dimana siswa diizinkan untuk menemukan aturan baru dan ide-ide baru, bukan menghafal apa yang dikatakan atau disampaikan oleh guru. (Arifin et al., 2020). 

Dengan demikian, discovery learning merupakan pembelajaran terbimbing yang dapat digunakan oelh guru untuk membantu siswa menemukan sendiri informasi dan pemahaman materi secara mandiri dengan menggunakan intuisi kognitif siswa. 

Belajar dengan penemuan hasilnya bertahan lama dalam memori siswa karena siswa terlibat secara langsung dalam proses pembentukan pengetahuan itu melalui pengalaman-pengalaman yang dilakukannya. Disamping itu, siswa menjadi terbiasa menghadapi masalah dan berusaha untuk mencari solusinya. Hal ini sesuai dengan pendapat Bruner yang menyatakan bahwa pendekatan discovery memudahkan transfer dan penahanan, meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, dan meningkatkan motivasi (Lefrancois, 2000, p.209). Namun demikian, siswa tidak dilepaskan begitu saja untuk menemukan sendiri konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika. Siswa dengan kemampuan matematika yang rendah membutuhkan pembelajaran penemuan secara eksplisit (Septya et al., 2018). Oleh karena hal tersebut, pembelajaran dengan metode ini dapat membantu meningkatkan daya berpikir dan kemampuan pemecahan masalah siswa. 

Penemuan (discovery) merupakan suatu model pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan pandangan konstruktivisme (Fitriyah et al., 2017). Hal ini sesuai dengan Ellyza, 2015:34 menyatakan bahwa “Discovery Learning merupakan pembelajaran berdasarkan penemuan (inquiry-based), konstruktivis, dan teori bagaimana belajar. Model pembelajaran yang diberikan kepada siswa memiliki skenario pembelajaran untuk memecahkan masalah yang nyata dan mendorong mereka untuk memecahkan masalah mereka sendiri. Dalam memecahkan masalah yang dihadapi, karena bersifat konstruktivis, para siswa menggunakan pengalaman mereka terdahulu dalam memecahkan masalah. Model penemuan (discovery) ini, menekankan pentingnya pemahaman struktur atau ideide penting terhadap suatu disiplin ilmu melalui keterlibatan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran. Penemuan merupakan suatu strategi yang unik dapat dibentuk oleh guru dalam berbagai cara, termasuk mengajarkan berbagai keterampilan menyelidiki dan memecahkan masalah sebagai alat bagi siswa untuk mencapai tujuan pendidikannya. Dalam pembelajaran, siswa didorong untuk belajar melalui keterlibatan aktif mereka sendiri dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, lalu guru juga mendorong siswa untuk memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan siswa untuk dapat menemukan sendiri prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa model penemuan itu adalah suatu metode di mana dalam proses belajar mengajar guru memperkenankan siswa-siswanya menemukan sendiri informasi yang secara tradisional biasa diberitahukan atau diceramahkan saja. (Nurgazali, 2019). Kesimpulannya adalah discovery learning ini dapat menggunakan aspek-aspek penelitian yang bersifat konstruktif untuk siswa dalam memahami masalah. 

Jerome Bruner (1967)  sebagai orang yang pertama kali menjelaskan prinsipprinsip belajar penemuan (discovery learning). Ia menjelaskan bagaimana seorang pembelajar membangun pengetahuan berdasarkan pengetahuan atau pengalaman awal. Hampir serupa, para ahli teori belajar kognitif yang lain seperti John Dewey, Jean Piaget, dan Lev Vygotsky juga sangat menyarankan penggunaan discovery learning karena dapat memacu pembelajaran menjadi aktif pada kegiatan ataupun proses pembelajaran dengan mengeksplorasi konsep-konsep dan menjawab pertanyaan-pertanyaan melalui pengalaman belajar yang mereka lalui. (Nurgazali, 2019) Adapun teori belajar yang dapat diimplementasikan untuk mendasari model pembelajaran discovery learning sebagai berikut: 

  1. Teori Belajar Piaget  

Menurut Piaget, tahap perkembangan kognitif anak mencakup tahap sensori motorik, tahap praoperasional, tahap operasional kongkrit, dan tahap operasional formal. (Nurgazali, 2019) Pemrosesan informasi kognitif dikembangkan karena keterbatasan dari teori sosial kognitif. Piaget berpendapat bahwa pengetahuan tidak tergantung pada siswa. Adapun karakteristik dari pemrosesan informasi kognitif adalah motivasi dalam diri, hubungan antara pengetahuan yang sebelumnya dengan pengetahuan yang baru, skema yang merupakan struktur pengetahuan internal, melakukan review sebelum mengenal materi baru, pemahaman reflektif, serta multi-sensory input yang memberi dampak terhadap tiga tahap model pemrosesan informasi yang menganggap bahwa semua sensory input dipantau dan apakah dapat ditindaklanjuti, jika tidak mendapat perhatian maka dapat terlupakan. Dengan ingatan jangka pendek, maka dapat mempertahankan sensory input yang menarik dan membutuhkan pengulangan. Ingatan jangka pendek mengirimkan ke ingatan jangka panjang secara permanen dan kapasitas tanpa batas. 

Dalam implikasinya, teori pembelajaran Piaget juga dapat diterapkan dalam pembelajaran matematika yang merupakan ilmu pengetahuan abstrak sehingga memerlukan penalaran deduktif untuk memahaminya. Oleh karena itu, belajar matematika selalu dikaitkan dengan kesiapan kognitif. Dalam hal ini, belajar dipandang sebagai hasil pencapaian dan perkembangan dari struktur kognitif. Kesiapan anak untuk belajar matematika ditinjau dari kesiapan struktur kognitifnya, yaitu kapasitas kemampuan berpikir secara terorganisir dan terkoordinir. Struktur kognitif diperlukan untuk mengembangkan kemampuan penalaran yang dapat distimulasi melalui pengkajian matematis suatu objek. Jadi, ada hubungan timbal balik antara kesiapan struktur kognitif dengan pengembangan kemampuan penalaran dalam konteks belajar matematika. Dalam percobaan Piaget, ternyata anak pada tahap pra-operasional konkret belum dapat mengerti soal korespondensi satu-satu dan kekekalan. Namun, pada tahap operasional konkret, anak sudah dapat mengerti soal korespondensi dan kekekalan dengan baik. Dengan perkembangan ini, berarti konsep tentang bilangan bagi anak telah berkembang (Rahyubi, 2012: 132). Menurut Piaget, pendekatan yang digunakan yaitu konstruktif. Pendekatan ini memungkinkan anak belajar dengan baik jika ia aktif dan mencari solusi secara mandiri. Metode pembelajarannya ialah dengan eksperimen dan berdiskusi, serta mengurangi metode ceramah dan hafalan materi .(Juwantara, 2019). 

  1. Teori belajar Bruner 

Bruner menekankan bahwa ada pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang. Dengan teori yang dikemukakan oleh Bruner atau yang disebut juga free discovery learning, ia mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya. Kognitif yang digambarkan oleh Bruner merupakan proses discovery learning, yaitu penemuan konsep (Nurgazali, 2019). Pada dasarnya siswa lebih cenderung lebih mengerti jika dalam proses belajarnya diberikan ilustrasi yang membantu mereka dalam memahami materi. 

Selanjutnya menurut Bruner, discovery learning adalah pembelajaran yang berdasarkan penemuan. Guru memandu siswa untuk menemukan faktafakta untuk diri mereka sendiri. Pada metode ini, Bruner menekankan terhadap pemodelan. Menurut Bruner, belajar merupakan suatu proses aktif yang memungkinkan manusia untuk menemukan hal-hal baru diluar informasi yang diberikan kepada dirinya. Pengetahuan perlu dipelajari dalam tahap-tahap tertentu agar pengetahuan itu dapat diinternalisasi dalam pikiran (struktur kognitif) manusia yang mempelajarinya. Proses internalisasi akan terjadi secara sungguh-sungguh dimana proses belajar mengajar terjadi secara optimal jika pengetahuan itu dipelajari dalam tahap-tahap pembelajaran sebagai berikut:  

  1. Tahap Enaktif  

Tahap enaktif merupakan suatu tahap pembelajaran dimana pengetahuan dipelajari secara aktif dengan menggunakan benda-benda konkret atau situasi yang nyata. Dimana siswa terlibat secara langsung dalam manipulasi objek, dengan memanipulasi siswa dapat memegang, menggerakkan, dan merasakan benda-benda konkret (Widyaningrum, 2011). Semakin banyak indra yang digunakan maka akan semakin baik pengetahuan yang diterima oleh siswa. Dari pengalaman melakukan aktifitas belajar tersebut, mereka dapat mengingat dan merasakan dalam benak siswa sendiri terhadap proses kegiatannya sehingga siswa dapat menemukan ide dan struktur tentang konsep. Dalam pembelajaran matematika, saat mempelajari penjumlahan bilangan, guru memberi contoh benda konkret yang ada di hadapan siswa, misalnya mengambil satu buah buku milik siswa A dan dua buah buku milik siswa B. 

 

  1. Tahap Ikonik  

Tahap ikonik merupakan suatu tahap pembelajaran dimana pengetahuan direpresentasikan dalam bentuk bayangan visual yang dapat berupa gambar atau diagram yang menggambarkan kegiatan atau situasi konkret yang terdapat pada tahap enaktif. Dalam tahap ini, siswa tidak memanipulasi secara langsung objek-objek seperti dalam tahap enaktif, melainkan sudah dapat memanipulasi dengan menggunakan gambaran dari objek (Widyaningrum, 2011). Dengan demikian, intuisi imajinatif siswa mulai dilatih dan dibentuk untuk dapat menerima pengetahuan dan materi yang disampaikan. Tahap ini juga dapat melatih kemampuan siswa untuk lebih kreatif dalam berpikir serta mengembangkan ide yang diterima olehnya. Pada pembelajaran matematika, tahapan ini dapat dilaksanakan dengan menggambarkan satu buah buku dan dua buah buku di papan tulis. 

  1. Tahap Simbolik  

Suatu tahap pembelajaran di mana pengetahuan itu direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol abstrak, baik symbol-simbol verbal misalkan huruf, kata atau kalimat, lambang. Matematika maupun lambang-lambang abstrak lainnya. Dalam tahap ini, siswa dapat memanipulasi simbol-simbol secara langsung dan tidak lagi ada kaitannya dengan objek- objek (Widyaningrum, 2011). Tahap ini juga menitik beratkan terhadap ilustrasi visual sebagai mediator pembelajaran. Namun berbeda dengan tahap ikonik, tahap simbolik direpresentasikan dengan symbol yang abstrak. Pada pembelajaran matematika, tahap ini dapat disimbolkan dengan 1+2. 

Secara garis besar, Bruner mengintegrasikan tiga tahapan tersebut untuk menunjukkan representasi, yaitu enaktif dimana siswa mempelajari melalui kemampuan motorik; simbolik dimana menggambarkan suatu hal dengan simbol, serta ikonik dimana gambar visual merupakan mediator utama penyampaian materi atau gagasan. 

Selain hal tersebut, Bruner juga menyarankan spiral learning dimana konsep baru dibangun dari pengetahuan yang sebelumnya. Dia juga menyatakan bahwa pada discovery learning ini, pembelajaran berpusat pada guru dan pengaruh lingkungan terhadap siswa. 

Suatu proses belajar akan berlangsung secara optimal jika pembelajaran menerapakan tiga tahapan representasi Bruner. Oleh karena itu, hal tersebut memiliki dampak atau implikasi terhadap realita dalam proses pembelajaran matematika. Menurut Bruner, dalam proses belajar siswa sebaiknya diberi kesempatan untuk memanipulasi benda-benda konkrit seperti alat peraga dan video ilustrasi. Melalui penggunaan alat peraga tersebut, siswa dapat melihat langsung bagaimana keteraturan serta pola yang terdapat dalam benda yang sedang diperhatikannya. Keteraturan tersebut oleh siswa kemudian dihubungkan dengan keteraturan intuitif yang telah melekat pada dirinya. Dengan demikian siswa dalam belajar, siswa harus terlibat aktif secara mental (Widyaningrum, 2011). Namun demikian, penggunaan alat peraga tidak selalu membantu siswa dalam menerima materi saat proses pembelajaran matematika. 

Dalam penelitiannya, Bruner menggunakan tahapan belajar karena siswa dituntut untuk aktif dan kreatif dalam menemukan suatu solusi pemecahan masalah berdasarkan pengalaman dan penemuan dalam proses pembelajaran. Dengan tahapan ini, diharapkan dapat mengembangkan nilai-nilai formal yang sebenarnya sudah termuat dalam materi matematika (Widyaningrum, 2011). Selain itu, siswa juga diharapkan mampu berpikir kreatif sesuai dengan tujuan pembelajaran dari Bruner. 

3. Teori belajar Konstruktivisme 

Menurut pandangan teori konstruktivisme, belajar berarti mengkonstruksi makna atas informasi dan masukan-masukan yang masuk ke dalam otak. Siswa harus menemukan dan mentransformasikan informasi kompleks ke dalam dirinya sendiri dan memberikan implikasi bahwa siswa harus terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran. Pengetahuan itu dibangun, bukan persepsi secara langsung oleh indera. Semua pengetahuan terbentuk di dalam otak manusia dan subjek yang berpikir tidak memiliki alternatif selain mengkonstruksikan apa yang diketahuinya berdasarkan pengalamannya sendiri, sehingga bersifat subjektif (Nurgazali, 2019). Pada teori ini ditekankan pola pikir yang konstruktif dalam mencerna informasi dan materi yang masuk ke dalam otak. 

Konstruktivisme mengajarkan bahwa siswa dapat mengambil inisiatif, membangun pengetahuannya sendiri secara aktif dan membutuhkan waktu untuk refleksi, berpikir kritis, mengatur diri, mengatur berbagai perspektif. Teori ini mendukung kerjasama dan kolaborasi serta memiliki ciri khas komunikasi yang aktif antara guru dengan siswa, guru harus menjadi fasilitator, siswa dituntut mampu belajar melalui partisipasi aktif dalam pemecahan masalah, dan setiap siswa terbentuk dari representasi pengetahuannya sendiri. 

 

Karakteristik yang dimiliki oleh model Discovery Learning sebagaimana yang diungkapkan Hosman (2014:284) sebagai berikut:  

  1. Mengeksplorasi dan memecahkan masalah untuk menciptakan, menggabungkan, dan menggeneralisasikan pengetahuan 

  2. Berpusat pada siswa 

  3. Aktifitas belajar untuk menggabungkan pengetahuan baru dan pengetahuan yang sudah ada (Meliyanti et al., 2018). 

Tujuan model discovery learning menurut Cahyo (dalam Fitriyah, dkk. 2017) menyatakan bahwa:  

  1. Siswa memiliki kesempatan untuk terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran.  

  2. Siswa dapat menemukan pola dalam situasi yang konkret maupun abstrak.  

  3. Siswa dapat belajar dengan merumuskan stratategi tanya jawab dengan menggunakan tanya jawab disini untuk memperoleh informasi yang bermanfaat dalam menemukan.  

  4. Membantu siswa berdiskusi secara efektif, saling bertukar informasi serta menggunakan pendapat-pendapat orang lain.  

  5. Terdapat beberapa fakta yang menunjukkan bahwa keterampilan-keterampilan, konsep-konsep, dan prinsip-prinsip yang dipelajari melalui penemuan yang lebih bermakna (Meliyanti et al., 2018). 

Adapun beberapa manfaat pembelajaran berbasis penemuan yaitu: 

  1. Siswa aktif dalam kegiatan belajar, sebab ia berpikir dan menggunakan kemampuan untuk menemukan hasil akhir 

  2. Siswa memahami benar bahan pelajaran sebab mengalami sendiri proses menemukannya. Sesuatu yang diperoleh dengan cara ini lebih lama diingat 

  3. Siswa menemukan sendiri konsep materi sehingga menimbulkan rasa puas. Kepuasan batin ini mendorong ingin melakukan penemuan lagi sehingga minat belajarnya meningkat 

  4. Siswa yang memperoleh pengetahuan dengan metode penemuan akan lebih mampu mentransfer pengetahuannya ke berbagai konteks 

  5. Metode ini melatih siswa untuk lebih banyak belajar sendiri (Mujiati, 2017).  

Dalam pengaplikasian model discovery learning dalam pembelajaran, terdapat beberapa tahapan yang harus dilaksanakan. Sabri (2007: 26) mengemukakan langkah-langkah operasional model discovery learning yaitu: 1. Simulation 

Guru mengajukan persoalan atau membina siswa untuk membaca atau mendengarkan uraian yang memuat permasalahan. 

2. Problem Statement  

Siswa diberi kesempatan mengidentifikasi permasalahan yang dipecahkan. Permasalahan yang dipilih ini selanjutnya harus dirumuskan dalam bentuk pertanyaan yang akan diajukan oleh siswa.  

3. Data collection  

Untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidaknya hipotesis, siswa diberi kesempatan untuk mengumpulkan berbagai informasi yang relevan, membaca literatur, mengamati objek, melakukan wawancara dengan narasumber, melakukan uji coba sendiri, dan sebagainya.  

4. Data processing  

Semua informasi hasil bacaan, wawancara, dan observasi diklasifikasi, ditabulasi, bahkan bila perlu di hitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu.  

5. Verification 

Berdasarkan hasil pengolahan dan tafsiran atau berdasar informasi yang ada, pertanyaan atau hipotesis yang telah dirumuskan terdahulu itu kemudian dicek apakah terjawab atau terbukti.  

6. Generalization 

Tahap selanjutnya berdasarkan hasil verifikasi sebelumnya, siswa belajar untuk menarik kesimpulan atau generalisasi infomrasi tertentu yang telah disampaikan. (Septya et al., 2018) 

Pembelajaran matematika pada materi lingkaran dengan menggunakan metode discovery learning dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :  

  1. Guru menyampaikan materi yang akan disajikan  

  2. Guru menyuruh siswa untuk membentuk beberapa kelompok untuk melakukan penemuan pada materi lingkaran 

  3. Setiap kelompok difasilitasi alat peraga oleh guru untuk menemukan nilai pendekatan 𝜋, rumus keliling lingkaran dan luas lingkaran 

  4. Guru memberikan sedikit arahan kepada siswa dalam proses penemuan dengan menggunakan alat peraga kawat untuk menemukan nilai pendekatan 𝜋 

  5. Setiap kelompok melakukan penemuan dengan bimbingan dari guru 

  6. Setelah setiap kelompok mendapatkan pememuannya dengan menggunakan alat peraga, masing-masing kelompok diminta untuk mempresentasikan hasil penemuaannya 

  7. Guru memberikan kesimpulan 

  8. Pelaksanaan evaluasi 

  9. Penutup (Nurgazali, 2019). 

 

Kelebihan metode discovery learning sebagai berikut: 

  1. Membantu siswa untuk memperbaiki dan meningkatkan keterampilan kemampuan berpikir siswa. Usaha dalam melakukan penemuan merupakan kunci dalam proses ini. 

  2. Metode ini memungkinkan siswa berkembang dengan cepat dan sesuai dengan kemampuannya sendiri 

  3. Meningkatkan tingkat penghargaan pada siswa karena unsur berdiskusi 

  4. Menimbulkan rasa senang pada siswa karena tumbuhnya rasa menyelidiki dan berhasil 

  5. Membantu siswa menghilangkan skeptisme (keragu‐raguan) karena mengarah pada kebenaran yang final dan tertentu atau pasti (Nurgazal i, 2019) 

  6. Dapat membangkitkan motivasi belajar pada siswa 

  7. Membantu siswa untuk memperkuat dan menambah kepercayaan pada diri sendiri dengan proses penemuan sendiri 

  8. Siswa akan dapat mentransfer pengetahuan ke dalam berbagai konteks  

  9. Dapat membuat pembelajaran lebih bermakna memberikan kesempatan siswa untuk belajar secara mandiri  

  10. Discovery learning lebih realistis dan mempunyai makna, sebab para anak didik dapat bekerja langsung dengan contoh yang nyata 

  11. Dengan transfer pengetahuan secara langsung, maka kegiatan discovery learning akan lebih mudah diserap oleh anak didik dalam memahami kondisi tertentu yang berkenaan dengan aktivitas pembelajaran 

  12. Pengetahuan bertahan lebih lama 

  13. Dapat meningkatkan penalaran dan kemampuan untuk berfikir secara bebas (Meilantifa, 2018), (Meliyanti et al., 2018), (Nurgazali, 2019), (Prasasty & Utaminingtyas, 2020), (Septya et al., 2018). 

 

Sementara itu, kekurangan dari discovery learning sebagai berikut:  

  1. Metode ini menimbulkan asumsi bahwa ada kesiapan pikiran untuk belajar. Bagi siswa yang kurang pandai, mereka akan mengalami kesulitan berfikir atau mengungkapkan hubungan antara konsep‐konsep baik yang tertulis atau lisan sehingga pada gilirannya akan menimbulkan frustasi.  

  2. Metode penemuan (discovery) tersebut kurang efisien untuk pembelajaran dalam jumlah siswa yang banyak, karena membutuhkan waktu yang lama untuk membantu mereka menemukan teori atau pemecahan masalah lainnya.  

  3. Harapan-harapan yang terkandung dalam metode discovery dapat buyar berhadapan dengan siswa dan guru yang telah terbiasa dengan cara-cara belajar yang lama.  

  4. Tidak menyediakan kesempatan-kesempatan untuk berpikir yang akan ditemukan oleh siswa karena telah dipilih terlebih dahulu oleh guru.  

  5. Tidak efisien jika siswa yang diajar dalam jumlah banyak (Meilantifa, 2018), (Nurgazali, 2019). 

   

Daftar Pustaka 

 

Arifin, M., Kartono, & Mariani, S. (2020). Efektivitas Quick and Quient feedback dalam pembelajaran model Discovery Learning pada pencapaian pemecahan masalah matematis siswa. Prisma, Prosiding Seminar Nasional Matematika, 3, 330–334. 

Fitriyah, Murtadlo, A., & Warti, R. (2017). Pengaruh Model Pembelajaran Discovery Learning terhadap             Hasil Belajar Matematika Siswa MAN Model Kota Jambi. Jurnal Pelangi, 9(2), 108–        112. https://doi.org/10.22202/jp.2017.v9i2.1898 

Juwantara, R. A. (2019). Analisis Teori Perkembangan Kognitif Piaget pada Tahap Anak Usia Operasional Konkret 7-12 Tahun dalam Pembelajaran Matematika. Al-Adzka: Jurnal Ilmiah Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, 9(1), 27. https://doi.org/10.18592/aladzkapgmi.v9i1.3011 

Meilantifa. (2018). Penerapan Model Pembelajaran Discovery Learning Dalam Pembelajaran Matematika Pokok Bahasan Lingkaran. Jurnal Ilmiah Soulmath : Jurnal Edukasi Pendidikan Matematika, 6(2), 59–64. https://doi.org/10.25139/smj.v6i2.913 

Meliyanti, Nahdi, D. S., & Yonanda, D. A. (2018). Model Discovery Learning Dalam Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar. Jurnal Elementaria Edukasia, 1(2), 196–204. 

Mujiati. (2017). PENINGKATAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MELALUI METODE             DISCOVERY LEARNING PADA MATERI KONSEP KELILING DAN LUAS BANGUN DATAR         SISWA KELAS V A SD NEGERI 009 PULAU KIJANG KECAMATAN RETEH. Jurnal                         Primary6(1), 179–189. 

Nurgazali, F. (2019). MODEL DISCOVERY LEARNING DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA. Diambil dari https://www.researchgate.net/publication/330411031_MODEL_DISCOVERY_LEARNING_DALAM_PEMBELAJARAN_MATEMATIKA 

Prasasty, N., & Utaminingtyas, S. (2020). Penerapan Model Discovery Learning Pada Pembelajaran                 Matematika Siswa Sekolah Dasar. JRPD(Jurnal Riset Pendidikan Dasar), 1(1), 57–64. Septya, E.,             Febriana, R., & Hafizah, D. (2018). Penerapan Model Pembelajaran Discovery Learning Terhadap     Penalaran Komunikasi Matematis Siswa. Jurnal LEMMA, IV(1), 27–35 https://doi.org/10.22202/jl.2017.v4i2.2738 

Widyaningrum, R. (2011). Tahapan J. Bruner Dalam Pembelajaran Matematika Pada Penjumlahan Dan Pengurangan Bilangan Bulat Di Sekolah Dasar (Sd/Mi). Jurnal Cendekia, 9, 68–69. Diambil dari http://jurnal.iainponorogo.ac.id/index.php/cendekia/article/view/865


#MarsigitLydia #MathematicsRoom #Marsigit2020 #Filsafat_ilmu #Lydia_Yeckti_Henawati

2 komentar: