Baby Hello Kitty

Jumat, 04 Desember 2020

Lydia Yeckti Henawati Filsafat | Filsafat Sebagai Ilmu Terapan

Lydia Yeckti Henawati (20709251036)

Pascasarjana Pendidikan Matematika UNY

Filsafat Ilmu - Marsigit


Filsafat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dapat berarti pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal dan hukumnya. Filsafat dapat berarti juga teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan atau juga ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemology. Dari segi tata bahasa, kata “filsafat” dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab “falsafah” yang berasal dari bahasa Yunani, philo sophia. Philo berarti cinta, sophia berarti kebijaksanaan atau hikmah (wisdom). Diharapkan orang yang belajar filsafat dapat menjadi orang yang bijaksana, arif dan dapat menyelesaikan masalah-masalah praktis (Imron, 1970).

Dalam hidup, manusia sudah diberi anugerah oleh Tuhan, salah satu contohnya adalah kecerdasan. Kecerdasan yang dimiliki seseorang akan memberikan pemahaman filsafat yang lebih mendalam. Salah satu pemanfaatan kecerdasan dapat dimanfatkan dalam bidang ilmu filsafat. Hal tersebut dikenal dengan kecerdasan filsafat. Kecerdasan filsafat merupakan kecerdasan yang memiliki paham ruang dan waktu. Orang gila tidak memiliki kecerdasan filsafat karena tidak memahami kapan dan dimana ia berada. Supaya tidak gila, maka manusia harus sadar akan penempatan dirinya.

Setiap orang pasti memiliki masalah dalam hidupnya, tidak ada orang yang hidup dan terbebas dari masalah. Kebanyakan orang bermasalah dan menjadi masalah bagi orang lain dikarenakan tidak menguasai dunianya dan tidak menguasai bahasa-bahasa di dunia. Dunia disini maksudnya adalah lingkungan sekitarnya dimana ia tinggal dan bercengkerama dengan manusia lain. Selain itu, manusia juga harus menguasai bahasa, artinya setiap orang harus memiliki etika yang baik dalam berkomunikasi dan bersosialisasi terhadap orang lain. Maka, setiap orang harus menguasai kedua hal tersebut dan memanfaatkan kecerdasannya agar bisa hidup berdampingan dengan orang lain.

Imanuel Kant adalah penengah yang mengartikan bahwa hidup bagaikan langit dan bumi. Dalam hal ini, langit diibaratkan apriori dan bumi diibaratkan aposteriori. Kant berupaya menjelaskan bahwa pengetahuan manusia merupakan paduan atau sintesa antara unsur- unsur apriori dengan unsur-unsur aposteriori (Dahlan, 2009). Apriori adalah kemampuan untuk memahami seseorang walaupun belum melihat atau berjumpa dengannya. Contohnya ketika terdapat seorang anak yang ingin meminta restu terhadap ayahnya untuk menikahi pasangannya. Anak tersebut kebetulan tidak bisa membawa pasangannya untuk diperkenalkan langsung, kemudian ayah bertanya kepada anaknya mengenai latar belakang pasangannya. Lalu, secara sadar ayah merestui karena sudah bisa melihat karakter pasangan anaknya berdasarkan cerita tersebut walaupun belum berjumpa secara langsung. Penganut paham apriori adalah orang dewasa. Adapun aposteriori merupakan ketidakmampuan seseorang untuk memahami sesuatu yang belum dilihat dan dirasakan. Jadi, untuk memahaminya orang tersebut harus melihat secara langsung hal yang akan mereka terima. Semua binatang dan anak-anakpun termasuk kedalam level aposteriori. Mereka lebih cenderung untuk mengerti sesuatu yang mereka lihat dan dengarkan secara langsung baik teori maupun lisan. Jadi, orang yang memiliki pemahaman aposteriori lebih mengandalkan indera daripada proses berpikir.

Berpikir merupakan aktivitas manusia sehari-hari. Akan tetapi, manusia sendiri telah mengembangkan metode-metode berpikir yang valid sehingga dapat menghasilkan pengetahuan yang benar pula. Pengetahuan melalui aktivitas berpikir ini menggunakan alat bantu yang disebut dengan logika (Rapik, 2017). Setiap makhluk hidup dapat berpikir secara terukur menggunakan logika yang dimiliki oleh mereka. Hal ini sejalan dengan pemikiran Nugraha, dkk (2017) yang mengemukakan bahwa logika adalah sarana untuk berpikir sistematis, valid, dan dapat dipertanggungjawabkan. Tanpa adanya logika, manusia tidak bisa berpikir secara rasional sehingga keputusan yang diambil menjadi kurang tepat atau mungkin tidak dapat diterima oleh orang lain. 

Logika dapat dilatih berdasarkan praktek dalam kehidupan sehari-hari. Dengan sering melakukan praktek tersebut, maka pengalaman yang dimiliki akan bertambah. Karena pengalaman, maka munculah paham empirisme. Paham tersebut mengajarkan bahwa tidak ada sesuatu dalam pikiran kita selain didahului oleh pengalaman (Nugraha et al., 2017). 

Dengan demikian, filsafat bukan merupakan sekedar ilmu teori tetapi juga ilmu terapan. Tanpa disadari, dalam setiap aktifitas sehari-hari, filsafat itu selalu ada. Setiap tindakan, pemikiran, maupun perasaan didasari oleh landasan yang kuat dan ilmu filsafat merupakan landasan itu sendiri.


DAFTAR PUSTAKA


Dahlan, M. (2009). PEMIKIRAN FILSAFAT MORAL IMMANUEL KANT (Deontologi, Imperatif Kategoris dan Postulat Rasio Praktis). Jurnal Ilmiah Ilmu Ushuluddin, 8(1), 37. https://doi.org/10.18592/jiiu.v8i1.1369

Imron. (1970). Sejarah Filsafat; Filsafat Kuno “Periode Axial” dan Asal-Usulnya. Tamaddun, 13(1).

Nugraha, R., Juliana, A. Z., Lilis, S., Nana, K., Nur, M., Nur, S.,  Husyaini, B. (2017). Filsafat ilmu. (T. S. etc Wulandari, Ed.) (1 ed.). Jambi: PUSTAKA M’ARIF PRESS.

Rapik, M. (2017). Diskursus Filsafat Ilmu: dari Peradaban Manusia ke Peradaban Tuhan. Titian, 1(2), 156–171. Diambil dari https://online-journal.unja.ac.id/index.php/titian/article/view/4225

#MarsigitLydia #MathematicsRoom #Marsigit2020 #Filsafat_ilmu #Lydia_Yeckti_Henawati

4 komentar: